Direktur Jenderal Pendidikan Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PAUDNI) Lydia Freyani Hawadi mengatakan, Hari Aksara Internasional yang setiap tahun diperingati adalah wujud komitmen pemerintah terhadap kesepakatan menteri-menteri pendidikan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Komitmen yang disepakati pada 1965 tersebut bertekad membebaskan seluruh warga dunia dari ketunaaksaraan.
“Indonesia telah memperoleh penghargaan aksara King Sejong dari UNESCO. Hal ini bermakna bahwa jerih payah para tutor keaksaraan, para penggiat di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Taman Bacaan Masyarakat, Rumah Pintar, dan kegiatan keaksaraan dari perguruan tinggi serta organisasi masyarakat, organisasi perempuan, lembaga keagamaan, seluruh pemangku kepentingan yang sangat peduli terhadap pendidikan keaksaraan, telah mendapat pengakuan internasional,” tutur Lydia di hadapan sekitar 2.500 orang peserta.
Hingga bulan ini, Indonesia telah berhasil menurunkan angka tuna aksara lansia hingga tinggal 4,43 persen atau 6,7 juta orang. Disparitas antarprovinsi juga semakin baik. Kini hanya tersisa tujuh provinsi dengan jumlah tuna aksara di atas 200 ribu orang yang awalnya sembilan provinsi pada tahun 2010. Capaian ini merupakan prestasi bagi Indonesia karena itu dapat melampaui target pendidikan untuk semua, yaitu satu juta orang. “Ini sesuai penetapan UNESCO tentang prakarsa keaksaraan untuk pemberdayaan atau literacy initiative for empowerment atau dalam konteks bahasa Indonesia disebut AKRAB atau Aksara Agar Berdaya,” tambah Lydia.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengentaskan ketunaaksaraan yang terintegrasi dengan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, serta dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui upaya ini dapat diwujudkan pemberdayaan masyarakat yang mampu menghasilkan aksarawan yang lebih cakap, berkarakter, dan meningkatkan kualitas kehidupannya.
HAI ke-47 bertema “Aksara Membangun Perdamaian dan Karakter Bangsa”. Adapun subtema peringatan ini adalah “Melalui Peringatan HAI ke-47 Kita Tingkatkan Nilai Ke-Indonesiaan yang Berbudaya Damai dan Berkarakter”. Tema ini diharapkan dapat mengingatkan kembali serta memberi inspirasi tentang kesungguhan upaya penyelenggaraan pendidikan keaksaraan sebagai fondasi gerakan membangun manusia berkarakter dan berbudaya damai. “Bukan hanya sekadar sebagai gerakan pengentasan ketunaaksaraan semata-mata,” tandasnya.(RA)
Sumber :Kemdikbud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar