Jakarta (Dikdas): Kunci utama pendidikan karakter adalah keteladanan. Sehebat-hebatnya teori yang menopangnya, tanpa adanya keteladanan dari para pemangku kepentingan, pendidikan karakter hanya akan menemui kegagalan.
Teladan pertama dan utama pendidikan karakter adalah guru. Guru sebagai pendidik dituntut tak hanya menyampaikan teori bagaimana menjadi pribadi yang berkarakter, lebih dari itu mereka harus memberi contoh bagaimana menerapkan pendidikan karakter dalam perilaku keseharian.
Agar penerapan pendidikan karakter yang akan dimulai pada tahun ajaran 2011-2012 mendatang berjalan sukses, apa langkah-langkah yang dipersiapkan oleh Direktorat Pembinaan PTK? Guru seperti apa yang hendak dibentuk guna menjadi teladan bagi siswa-siswi di sekolah? Berikut ini informasi mendalam tentang hal tersebut dari Direktur Pembinaan PTK Sumarna Surapranata, Ph.D yang disampaikan pada Selasa pagi, 31 Mei 2011, di ruang kerjanya, Gedung E Lantai 14 Kompleks Kemdiknas, Senayan, Jakarta.
Pada tahun ajaran 2011-2012 mendatang, pendidikan karakter akan diterapkan di sekolah. Sejauh ini, persiapan apa yang dilakukan Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan?
Dilihat dari permasalahannya dulu; disorientasi, belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, adanya keterbatasan perangkat kebijakan, bergesernya nilai etika, memudarnya kesadaran akan nilai-niai, ancaman disintegrasi, dll.
Bangsa yang berkarakter seperti apa? Bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan seterusnya. Tapi kita lihat, siapa yang membangun potret pendidikan karakter itu?
Ada rumah, sekolah, masyarakat. Kita konsentrasi sekolah. Dengan pendekatan apa? Pendekatannya adalah keteladanan. Guru harus memberikan keteladanan melalui pembelajaran. Keteladanan ini sekarang kita kait-kaitkan dengan adanya tunjangan profesi. Sekarang sudah ada 746.000 lebih guru yang sudah dapat tunjangan guru di seluruh Indonesia.
Kalau disebut dengan tunjangan profesi, yang namanya profesional, paling tidak guru menguasai empat hal. Pertama, menguasai kompetensi profesional. Kedua, memiliki kompetensi pedagodik, kompetensi mengajar yang bagus. Ketiga, kompetensi sosial. Dia harus bisa bersosialisasi dengan masyarakat, siswa, dan sekolah. Terakhir, kompetensi kepribadian. Kepribadiannya harus unggul.
Unggul seperti apa?
Unggul seperti pantang menyerah. Ada satu ikon di dalam karakter bangsa itu adalah pantang menyerah. Guru pantang menyerah di sekolah; kalau tidak ada alat, dia (guru) harus membuat alat. Dia harus inovatif, kreatif. Dia harus memberikan keteladanan bahwa tidak ada alat bisa mengajar dengan cara membuat alat sederhana. Zaman dulu tidak semewah sekarang, tapi bisa menghasilkan Soekarno dan Budi Utomo. Apakah orang yang sekarang “jadi” diajar dengan sarana yang bagus? Tidak.
Jadi guru waktu itu sudah punya keterampilan mengajar?
Iya. itu namanya kompetensi profesional.
Apa dapat dikatakan pembinaan terhadap guru sebelumnya sudah benar-benar bagus?
Sudah. Kalau disebut pendidikan karakter, kan, bukan dari nol. Tapi coba kita menyemangati kembali sesuatu yang sudah ada. Bangsa ini bangsa yang hebat, tapi karena ada disorientasi, distorsi, dst.
Guru kalau datang ke kelas harus tepat waktu. Di beberapa sekolah, kita sudah punya. Banyak sekolah yang siswanya belum datang, gurunya sudah datang. Saya lihat beberapa tempat, siswa datang cium tangan guru.
Dulu zaman saya dikenal diktator, jual diktat beli motor. Guru datang ke sekolah, karena ekonominya, dia jualan diktat. Guru datang ke sekolah CBSA, Catat Buku Sampai Abis, masih ada protret seperti itu.
Guru ada yang bagus, tetapi ada juga yang tidak bagus. Guru harus memberi keteladanan kepada siswa; datang tepat waktu, tidak merokok di kelas. Banyak guru yang tidak merokok di sekolah, tapi masih ada guru yang merokok di kelas.
Dalam pembelajaran, guru harus sebagai motivator. Memberi motivasi kepada siswa agar jangan sampai ada siswa yang terabaikan. Biasanya guru memerhatikan hanya beberapa hal; yang paling pintar dan paling bodoh.
Guru tidak boleh menjadikan siswa sebagai objek. Guru harus menjadikan siswa sebagai subjek. Kalau objek, apa kata guru siswa harus menurut. Padahal pendidikan tidak seperti itu. Proses pembelajarannya harus memerhatikan konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), CTL (Contextual Teaching Learning), PAKEM. Guru harus menjadi agen pembudayaan.
Seperti apa pembudayaan itu?
Contohnya, cinta budaya Indonesia. Guru tak perlu bisa main segala instrumen, tapi guru lewat media apapun harus menjadi agen pembudayaan; budaya bersih, disiplin. Pembudayaannya harus dimulai di sekolah, walaupun ada lingkungan yang lebih besar lagi yaitu realitas kehidupan.
Guru juga harus melakukan penguatan terus-menerus. Pantang menyerah. Mengulang-ulang, memperkuat terus-menerus tentang budaya, motivasi, disiplin. Dan guru harus bisa mengevaluasi dari waktu ke waktu.
Lima pendekatan ini saja untuk pendidikan karakter bangsa cukup. Cinta tanah air, sopan santun, gotong-royong, itu, kan, nilai-nilai budaya luhur kita yang sekarang mungkin sudah terkikis di beberapa tempat. Tapi kita juga harus bangga di tempat lain masih banyak yang bagus.
Evaluasi maksudnya apa?
Contohnya anak diajarkan sopan-santun, kemudian dievaluasi dengan pendekatan non-tes seperti pengamatan. Ini untuk meningkatkan perbaikan.
Tidak pakai instrumen?
Instrumennya non-tes; pengamatan, wawancara.
Apakah ada instrumen evaluasi terhadap keberhasilan pendidikan karakter terhadap diri siswa?
Di sekolah ada prestasi dan non-prestasi. Dalam Ujian Nasional itu, kan, menjadi salah satu faktor kelulusan. Ada cara penilaiannya, instrumennya. Sekolah dan guru punya, yang disebut instrumen non-tes melalui pengamatan, peer group.
Prinsip pendidikan karakter adalah berkelanjutan, tidak putus. Contoh Jepang atau Korea. Pendidikan karakternya cuma satu, yaitu disiplin. Semua aspek disiplin. Melalui semua mata pelajaran, bukan hanya pada PPKn. Harus individu-individu dan satuan pendidikan. Ini prinsipnya begitu. Nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar. Makanya melalui keteladanan. Jangan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Budaya bersih, religius. Jangan menyuruh anak shalat sementara ia tidak shalat.
Nilai tidak diajarkan, karena kalau diajarkan itu konsep. Teori saja. Tetapi dikembangkan melalui proses belajar-mengajar.
Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Dulu, waktu saya kecil, ada tetangga bangun rumah, dikeroyok turut bangun. Sekarang?
Berarti ada semacam pergeseran budaya dan pemikiran di masyarakat. Bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang pernah bersekolah?
Di satu sisi kita bagus, di sisi lain kurang. Tetapi kita tidak boleh mengatakan bagus-jelek itu karena sekolah. Karena di sekolah cuma berapa jam? Ketika jelek, dibilang gurunya jelek. Ketika bagus, tidak pernah dibilang karena gurunya. Kan tidak fair. Pendidikan itu bukan hanya di sekolah; di masyarakat dan rumah. Bagaimana kita mau menggalakkan budi pekerti kalau di rumah tidak berbudi pekerti. Bagaimana kita mau mengembangkan sopan-santun, kalau pagi-pagi jam setengah enam sudah disuguhi dengan perilaku para artis yang kawin sebulan hamilnya tiga bulan. Itu bukan budaya kita. Dan jawaban mereka apa? “Kami sudah dewasa”. Itu pendidikan yang lebih bermakna dibandingkan di sekolah. Di luar, yang lebih lama waktunya. Jadi tidak boleh menyalahkan sekolah.
Jadi pendidikan karakter tidak hanya di sekolah ya, juga membutuhkan peran serta yang lain?
Betul. Kita tidak boleh mengatakan, “Oh ini karena gurunya.” Kalau berhasil bukan karena guru, kalau tidak berhasil gurunya disalahkan. Guru, kan, cuma ketemu delapan jam.
Di sisi lain kita juga ingin memperbaiki. Potensi guru dan kesejahteraannya sudah kita tingkatkan, sekarang kita tagih, “Tolong dong kompetensinya ditingkatkan.”
Dalam penerapan pendidikan karakter, apakah ada pengawasan terhadap guru?
Ada. Ada yang disebut dengan evaluasi kinerja guru.
Yang mengevaluasi?
Pemerintah. Namanya PKG, Penilaian Kinerja Guru. Kalau gurunya bagus, kita beri reward. Kalau tidak bagus bukan di punishment, tetapi kita tingkatkan kompetensinya melalui PKB, Peningkatan Kompetensi Berkelanjutan; training, pelatihan-pelatihan, peningkatan kualifikasi.
Kalau reward seperti apa?
Misalnya setiap tahun kita pilih guru-guru berprestasi seluruh Indonesia, kita beri hadiah.
Hadiahnya?
Ada yang kita beri laptop.
Itu sudah berjalan?
Sudah, dari zaman baheula. Itu mekanisme yang sudah ada. Kita sebut sebagai Harlindung; Penghargaan dan Perlindungan. Guru juga harus dilindungi.
Bagaimana proses evaluasi guru?
Ada perencanaan kebutuhan guru, ada kesejahteraan, ada karir, dan ada Harlindung. Tingkatnya dari tingkat sekolah, kabupaten/kota, provinsi, nasional. Kita akan memilih 99 orang di tingkat nasional. Sampai kita berikan Satya Lencana. Untuk guru-guru daerah khusus, kita beri.
Ada juga pendidikan karakter bagi PTK. Ada kerjasama dengan Kode Etik dan Dewan Guru yang dipimpin oleh mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro. Kerjasama dengan LBH Guru. Kita baru menandatangani MoU dengan LBH Guru. Guru tidak boleh diperlakukan semena-mamena.
Pengiriman PTK ke luar negeri, studi banding. Atau kita magangkan. Ini bagian dari Harlindung. Ada tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan tunjangan khusus. Ada bantuan peningkatan kualifikasi.
Apakah pendidikan karakter menjadi mata pelajaran tersendiri atau disisipkan dalam tiap materi pelajaran?
Disisipkan. Kalau satu keinginan/konsep dijadikan mata pelajaran, kan, tidak mungkin. Crowded, nanti.
Sekarang ada dorongan kuat di masyarakat agar pendidikan Pancasila dan budi pekerti dimasukkan lagi menjadi mata pelajaran. Bagaimana menurut Anda?
Apakah selama ini tidak ada? Ada. Karena kurang, itu bukan karena Pancasilanya, melainkan distorsi-distorsi. Kan sekarang ada Pendidikan Kewarganegaraan. Saya tidak label. Saya setuju Pancasila diajarkan, tapi bukan labelnya.* (Billy Antoro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar