SOLO. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi Psikolog menegaskan bahwa Akademi Komunitas (community college) tidak akan mematikan lembaga kursus dan pelatihan. Pendirian akademi tersebut justru harus menjadi pemacu bagi lembaga kursus untuk berbenah diri.
“Keduanya memiliki pangsa pasar yang berbeda,” ucapnya saat diwawancarai sejumlah media nasional, Minggu (28/10). Reni, sapaan Dirjen PAUDNI mengatakan lembaga kursus lebih banyak melayani program kursus reguler yang waktunya lebih singkat. Biasanya program tiga bulan atau enam bulan, sedangkan akademi komunitas berjenjang diplomasi satu dengan masa studi satu tahun.
Senada dengan Dirjen PAUDNI, Direktur Pembinaan Kursus dan Pelatihan Wartanto optimis lembaga kursus tidak akan hangus oleh akademi komunitas. “Saya yakin keduanya bisa bersinergi,” ucapnya. Sebelumnya, sejumlah lembaga kursus dan pelatihan memiliki beragam pandangan tentang akademi komunitas. Ada yang menyadarinya sebagai ancaman, namun ada pula yang menganggapnya sebagai peluang.
Tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan membangun 20 akademi komunitas sebagai amanat Undang-undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 59 ayat 7 UU tersebut menjabarkan bahwa akademi komunitas merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diplomasi satu dan atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang ilmu pengetahuan dan atau teknologi yang berbasis keunggulan lokal.
Cari Peluang Kursus Baru
Dirjen PAUDNI meminta agar para pengelola lembaga kursus dan pelatihan tidak hanya menjalankan program konvensional. Tetapi harus jeli mencari peluang jenis kursus baru. Ia berkisah tentang minimnya kursus penata musik dan suara (sound engineer) di Indonesia. “Kerabat saya ada yang mendalami sound engineer di Amerika, karena di Indonesia belum ada yang mumpuni. Ini kan peluang,” ucapnya.
Ia juga menyoroti masih minimnya literatur tentang adat perkawinan dari tiap-tiap daerah di Indonesia. Padahal dari 450 lebih jumlah kabupaten/kota, masing-masing memiliki adat perkawinan yang berbeda-beda. “Baru sebanyak 40 adat perkawinan yang dibakukan,” katanya. Untuk itu ia berharap pemerintah daerah ikut membantu pendataan potensi kursus dan pelatihan sesuai kearifan lokal. (Yohan Rubiyantoro/HK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar